BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Muhammad
Abduh tetrmasuk salah satu pembaharu agama dan social pada abad ke-20 yang
pengaruhnya sangat besar di dunia islam. Dialah penganjur yang sukses dalam
membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan islam dengan tuntutan zaman modern.
Didunia
islam ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan, dialah yang
menyeruhkan umat islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Assunah As Sahihah.
Ia juga terkenal dengan pembaharuannya dibidang pergerakan (politik), dimana ia
bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa di paris yang
makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat mesir dan
dunia islam pada umumnya.
Disamping
ia dikenal sebagai pembaharu dibidang keagamaan dan pergerakan (politik), ia
juga sebagai pembaharu dibidang pendidikan islam, dimana ia pernah menjabat
Syekh atau rector Universitas Al-Azhar di cairo mesir. Pada masa menjabat
rector inilaah ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut
yang pengaruhnya sangat luas didunia islam. Dan usaha pembaharuan inilah yang
akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP
DAN PERJUANGAN MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di
Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari
Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya
sampai Umar bin Khatab.Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr.Muhammad
Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa
keagamaan yang teguh.
Muhammad
Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari orang
tuanya. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an (Rahnema, 1998:
36). Ketika berusia tiga belas tahun, Muhammad Abduh dikirim ke Tanta untuk
belajar agama di Masjid Sekh Ahmad
ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa Arab,nahu ,sarf,fiqih dan sebagainya. Sistem pembelajaran yang digunakan pada pembelajaran itu dengan cara
menghafal nash (teks) dan ulasan serta hafalan di luar kepala, yang tidak
memberi kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas.
Ketidak puasan dengan metode menghapal diluar kepala ,Ia meninggalkan
pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat akan bekerja
sebagai petani .Dan pada tahun 1865 ,sewaktu masih berumur 16 tahun Ia pun
menikah.
Setelah
empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk
belajar, Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta, melainkan
bersembunyi dirumah pamannya yang bernama
Syekh Darwisy Khadr seorang terpelajar pengikut tarikat Syadli dan merupakan
alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli. Dari guru ini Muhammad Abduh
mendapat pengajaran tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek kezuhudan
tarekatnya (Rahnema, 1998: 37). Pada mulanya ia enggan belajar, namun
perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara
mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar. Akhirnya Iapun
pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Pada tahun
1866, Muhammad Abduh masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang yang
besar pada masa itu. Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia
merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode pembelajaran yang dianggapnya
kolot yang dipergunakan di sana (Fakhry, 1987: 462).
Metode
pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa
memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. (Rahnema, 1998: 37). Pada masa ini
Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah
Muhammad Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia
dan mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat
Al-Azhar. Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka
mengenai arti beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya
sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh
(Nasution, 1996: 60-61).
Ketika
Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera
menjadi muridnya yang paling setia (Nasution, 1996: 61). Al-Afghani memberikan
tekanan pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar
dianggap dan disamakan dengan bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani
dan menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat
kepada Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa
filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling
selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan
sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat,
yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fakhry, 1987: 462).
Pada tahun 1877
studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim .Ia kemudian mengajar
di almamaternya yaitu Al-Azhar,Darul Ulum dan dirumahnya sendiri ,Ia
mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih,Muqaddimah Ibnu Khgaldun dan
Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain.Dari sinilah Ia
mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
B. IDE-IDE PEMBAHARUAN DAN PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUH
- Analisis Sebab-sebab Kemunduran Ummat Islam
Muhammad
Abduh menyadari kemunduran masyarakat muslim. Menurut analisisnya, kondisi
lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni
Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan faktor internal,
yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri.
Menurut
Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban
yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan,
serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga
oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang
mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena
berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat
muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada
mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang
tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan.
Sementara
itu faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan
ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam.
Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak
ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat Islam tidak
menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan, ummat Islam hanya
berpegang pada tradisi. . Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam)
yang kemudian dapat mrampas puncak-puncak kekuasaan politik di dunia Islam.
Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal sebagaimana yang
dianjurkan dalam Al-Qur’an. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak
kenal dengan ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu
pengetahuan akan membukakan mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam
kebodohannya agar mudah diperintah. Mereka memasukkan ke dalam Islam
ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti
memuja secara berlebih-lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan membuta kepada
ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta pasrah yang
membabi buta kepada qadha’ dan qadar. Dengan demikian akal akan membeku dan berhentilah pemikiran
dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam masyarakat
di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua adalah bid’ah.
Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh
berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah itulah yang membuat ummat Islam lupa
kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang
menjadikan masyarakat Islam jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang
seharusnya dan yang sebenarnya (Nasution, 1996: 62-63).
Permusuhan
di antara kelompok-kelompok keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda
kemudian diperuncing oleh kaum politisi, lebih jauh menambah keresahan
masyarakat. Akhirnya, kebodohan dan keserbakaburan menjadi gejala umum, dan
pertentangan antara ilmu dan agama yang telah diselesaikan Al-Qur’an muncul
kembali untuk kedua kalinya (Fakhry, 1987: 466). Maka, untuk selanjutnya
Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kepada satu sumber sejati
ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an jelas-jelas
memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak akan berubah,
yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus kemajuan serta
kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini merupakan satu-satunya jalan
bagi kebangkitan ummat Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang baik dan adil
tentulah karena mengikuti ajaran Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 43).
2.
Aqidah dan Ibadah
Dalam kitabnya yang berjudul Risalat Al-Tauhid,
Muhammad Abduh mengemukakan bahwa, Tauhid adalah ilmu yang membahas
tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang pasti ada (wajib)
padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz) padaNya, dan sifat-sifat yang
pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid juga membahas
tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan sifat-sifat yang
pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa dinisbatkan kepada
mereka (Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin dilekatkan (mustahil)
pada mereka. Asal
arti tauhid adalah keyakinan bahwa Tuhan (Allah) adalah Maha Esa, yang
tiada sekutu bagiNya. Ilmu ini dinamakan Tauhid karena ia merupakan
bagian terpenting daripadanya, yaitu pengukuhan sifat Maha Esa kepada Allah
pada esensiNya, dan pada karya-karyaNya dalam menciptakan seluruh alam. Juga
pengukuhan bahwa Dia adalah satu-satunya tempat kembali semua yang ada, dan
penghabisan semua maksud. Usaha ini adalah tujuan paling agung dari diutusnya
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dibuktikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
Kadang-kadang
ilmu tauhid dinamakan ilmu kalam
karena persoalan yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perselisihan
pendapat di antara para ulama kurun pertama ialah, apakah kalam Allah
yang dibacakan (Al-Qur’an) itu tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim).
Mungkin juga karena ilmu ini dibina oleh dalil akal atau rasio, di mana
bekasnya terlihat jelas dari perkataan setiap ahli yang turut berbicara tentang
ilmu itu, dan sedikit sekali yang menggunakan naql (Al-Qur,an dan Sunnah Rasul)
kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu kemudian orang beralih
kepada hal-hal yang lebih menyerupai cabang daripadanya (furu’),
sekalipun yang cabang ini dianggap sebagai suatu masalah yang pokok oleh orang
yang datang kemudian. Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara
pembuktian tentang masalah pokok (ushul) agama, lebih mirip dengan ilmu
logika (manthiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ahli pikir
dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian manthiq
diganti dengan kalam untuk membedakan antara kedua ilmu itu. (Abduh,
1996: 3-4; Madjid, 1994: 365-366).
Kuliah-kuliahnya
Muhammad Abduh tentang ilmu tauhid di Beirut merupakan dasar bagi
karyanya yang sangat sistematis, Risalat Al-Tauhid yang menggambarkan
suatu mata rantai panjang risalah-risalah skolastik yang telah
diprakarsai oleh doktor-doktor Mu’tazilah pada abad kedelapan. Risalah ini
dimulai dengan uraian tentang definisi teologi atau ilmu tauhid,
seperti studi tentang eksistensi Tuhan, keesaanNya, sifat-sifatNya, dan
sifat wahyu kenabian. Menurut pengamatannya, sebelum Islam teologi belum
dikenal, tetapi metode demonstrasi yang digunakan oleh para teolog
pra-Islam cenderung menjadi suatu jenis adikodrati, seperti himbauannya kepada mu’jizat
(keajaiban-keajaiban), pembicaraan retorik, atau legenda. Al-Qur’an
menentang semua itu. Ia menyingkapkan dengan suatu cara yang tidak dapat
ditiru, pengetahuan apa yang telah dibolehkan atau ditentukan Tuhan, tetapi
tidak menentukan penerimaannya semata-mata atas dasar wahyu, tetapi dengan
mengajarkan pembuktian dan demonstrasi, menguraikan pandangan-pandangan orang
yang tidak beriman, dan membantah mereka secara rasional. Ringkasnya ia
menyatakan bahwa akal sebagai penentu terakhir tentang kebenaran dan menetapkan
perintah-perintah moralnya atas dasar rasional yang kokoh. Oleh karena itu akal
dan agama dibariskan sejajar, untuk pertama kalinya dalam Kitab Suci yang
diwahyukan Allah kepada Nabi yang menjadi utusanNya. Akibatnya orang Islam
menyadari bahwa akal sangat diperlukan untuk menerima butir-butir kepercayaan
yang demikian, seperti eksistensi Tuhan, kerasulan nabi-nabiNya, dan
juga pemahaman tentang masalah-masalah pokok wahyu dan memenuhi
tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa, sekalipun beberapa artikel
ini mungkin melampaui daya jangkau akal, namun mereka tidak bertentangan
dengannya.
Intisari
ajaran Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan
seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menerima begitu
saja ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang
tegas, yang telah memerintahkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan.
Dia juga memperingatkan orang-orang yang beriman, agar tidak menerima secara
tidak kritis kepercayaan para pendahulu mereka. (Fakhry, 1987: 464-466). Dalam
dua karya besarnya, Risalat Al-Tauhid dan Al-Islam wa Al-Nashraniyyah
ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyyah, Muhammad Abduh mencoba menyelaraskan akal
dan wahyu, namun pada akhirnya akal yang ditekankan. Jika terjadi perselisihan
antara akal dan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan,
dan hadits diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan rasio atau akal, atau
mengakui kebenarannya seraya mengakui ketidak mampuan manusia untuk mengetahui
maksud Allah (Rahnema, 1998: 53).
Ada
tiga hal yang mendasari pemikiran teologi Muhammad Abduh yaitu; kebebasan
manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat kepada sunnah Allah, dan
fungsi akal yang sangat dominan dalam mempergunakan kebebasan. Dengan ketiga
dasar pemikiran tersebut, beberapa penulis menilai Muhammad Abduh cenderung
kepada pemikiran Muktazilah. Akan tetapi sesuai dengan pernyataannya, dia
mengaku sebagai pengikut metode salaf yang tidak menafsirkan hal-hal yang
berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnNya, dan Alam gaib. Namun dalam
kenyataannya Muhammad Abduh mentakwilkan ayat-ayat yang demikian, di antara
ayat-ayat yang ditakwilkannya misalnya, surat Al-Lail ayat 20; 4’n?ôãF{$# mÎnu‘ ž u Ïmô`ur ä!$tóÏGö$# wÎ)
kata mô`ur
( wajh) pada ayat tersebut ditafsirkan kepada arti ridha,
sesuai dengan arti yang biasanya dipakai oleh orang-orang Arab dalam
ungkapan-ungkapan yang memakai kata tersebut, surat Al-Baqarah ayat 255; … uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# çm•‹Å™öä. 4yìÅ™ur … kata m•‹Å™öä.
(kursiyyuhu) ditakwilkan
dengan pengetahuanNya (al-‘ilmi Allahi)
dan surat Al-Takwir ayat 20; ûüÅ3tB ¸öyèø9$# “ÏŒ ‰ZÏã
>o§qè%
“ÏŒ
kata ¸öyèø9$#
(al-‘arsy)
ditakwilkan dengan arti kerajaan, kekuasaan atau kemuliaan. Sulaiman Dunya
lebih melihat sosok Muhammad Abduh sebagai seorang yang berada di antara dua
jalur pemikiran, yaitu pemikiran mutakallim dan filosof , bahkan
dalam menerapkan fungsi akal ia menilai Muhammad Abduh lebih Muktazilah dari
Muktazilah sendiri (Lubis, 1993: 135-137).
Lapangan pengabdian manusia sesuai
dengan ajaran Islam menurut Muhammad Abduh terbagi dalam dua kategori, yaitu ibadat
dan mu’amalat. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya
ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan (muamalat) hanya merupakan
dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci, karena itu dapat
disesuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 1998: 169). Berkaitan dengan hal
ini M. Quraish Shihab dalam bukunya Rasionalitas Al-Qur’an mengatakan:
“Ajaran agama, menurut Abduh secara
umum terbagai dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah
sekumpulan ketetapan Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat mengalami perubahan
atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan
kondisi sosial.” (Shihab, 2006: 23).
Untuk
menyesuaikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum sesuai dengan perkembangan
zaman diperlukan interpretasi baru.
Pintu ijtihad harus dibuka, ijtihad dalam hal ini bukan
hanya boleh dilakukan, bahkan penting dan perlu dilakukan. Namun demikian tidak
berarti semua orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya mereka yang
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya harus mengikuti pendapat mujtahid yang
disetujui fahamnya. Lapangan ijtihad sesungguhnya hanyalah soal-soal muamalat.
Adapun soal ibadat, karena ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan,
maka tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Oleh karena itu, ibadat
bukanlah lapangan ijtihad untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Taklid
kepada ulama tidak perlu dipertahankan karena hal ini menjadikan ummat islam
tidak dapat maju, bahkan mengalami kemunduran (Nasution, 1996: 64). Dalam hal
ini Muhammad Abduh mengecam para ulama pada masanya yang mengharuskan
masyarakat mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan
perbedaan kondisi sosial. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat,
bahkan mendorong mereka untuk meninggalkan ajaran agamanya. Muhammad Abduh
berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni menurut pandangannya dan
menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini (Shihab, 2006: 23-24).
3.
Tafsir Al-Qur’an.
Kitab
suci Al-Qur’an muncul sebagai kalimah yang agung yang mengungguli segala
kalimah apapun, dan hukumnya yang tinggi telah menjadi hukum atas segala yang
ada. Munculnya Kitab semacam ini, yang disampaikan oleh lisan seorang yang ummi
(tidak mengerti baca tulis) merupakan mukjizat yang paling besar dan dalil atau
bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan ciptaan manusia. Ia adalah cahaya (nur)
yang memancar dari matahari ilmu Ilahi dan hukum yang datang dari hadhirat Rabbani
yang disalurkan dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi (Abduh,
1996: 123).
Muhammad
Abduh meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh ummat
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun
di akhirat. Dia mengkritisi
upaya-upaya penafsiran yang membahas tak dapat ditirunya Al-Qur’an,
kata-katanya yang asing, makna eksoterisnya, tata bahasanya, dan ulasan-ulasan
yang semacam itu dianggapnya tidak bermanfaat, karena tidak menyentuh
kepentingan ummat (Rahnema, 1998: 54-55). Kitab-kitab tafsir pada masanya dan
pada masa-masa sebelumnya hanyalah pemaparan berbagai pendapat ulama yang
berbeda, yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an.
Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena hanya
mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari
segi i’rab dan penjelasan lain yang menyangkut segi-segi teknis
kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir
tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, dan
bukan kitab tafsir yang sesungguhnya. Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh
menggarisbawahi bahwa dialog Al-Qur’an berlaku umum untuk setiap masa dan
generasi, karena itu menjadi kewajiban setiap orang, baik yang pandai ataupun
yang bodoh untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Menurutnya, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini
kecuali melalui pembuktian logika, dan ada pula yang sukar dipahami dengan akal
tetapi tidak bertentangan dengan akal, sehingga walaupun wahyu harus dipahami
dengan akal, namun kita harus tetap mengakui keterbatasan akal. Oleh karena
itu, manusia membutuhkan bimbingan Nabi SAW, khususnya dalam banyak persoalan
metafisika atau dalam beberapa masalah maupun ibadah (Shihab, 2006: 20-21).
Muhammad
Abduh adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak
penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi
ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin
ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri
penafsiran Muhammad Abduh adalah:
Ø
Memandang setiap surat sabagai satu kesatuan
ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat
dengan tujuan surat secara keseluruhan.
Ø
Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an
berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak hanya ditujukan
kepada orang-orang tertentu.
Ø
Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
Ø
Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
Karya-karya
Muhammad Abduh di bidang tafsir Al-Qur’an ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah
Al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’ ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54,
Al-Ahzab ayat 37, dan Tafsir Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’
ayat 129 (Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak
ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu
Muhammad Rasyid Ridha. Atas desakan
muridnya itu ia memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar mulai
tahun 1899 dan selalu dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan sang
guru dicatat oleh muridnya, dan untuk selanjutnya ditulis dalam karangan yang
teratur. Apa yang telah ditulis murid selanjutnya diserahkan kepada sang guru
untuk diperiksa. Setelah mendapatkan peretujuan dari sang guru kemudian
disiarkan dalam majalah Al-Manar. Dengan demikian maka timbullah Tafsir
Al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal
tahun 1905. Setelah sang guru meninggal, Muhammad Rasyid Ridha meneruskan
penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan sang guru
(Nasution, 1996: 71).
4.
Politik
Pada
usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia
belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari
apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan
karya-karya penulis barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan
diperkenalkan pula dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah
dihadapi oleh masyarakat Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880
Muhammad Abduh diangkat menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i
Al-Mishriyyah, yang di bawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal
(Sjadzali, 1993: 120).
Keterlibatannya
dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada
tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi
dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik
dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi
kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan
majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa.
Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan
semangat ummat Islam untuk bangkit
melawan kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).
Muhammad
Abduh memandang kemunduran bangsa-bangsa muslim sebagai akibat pemerintah
otoriter yang yang ditimbulkan oleh kebodohan faqih (ahli hukum Islam)
dan kebodohan penguasa. Faqih dianggap bersalah karena tidak memahami
politik dan bergantung kepada penguasa, sehigga penguasa tidak
mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara itu, penguasa bukan saja bodoh
dalam hal memerintah dan menegakkan keadilan, bahkan mereka merusak faqih
dan memanfaatkan faqih untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara
memaksa faqih mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan kebijakan
pemerintah. Dalam keadaan demikian, hal yang terpenting bagi ummat adalah
persatuan politik dan keadilan. Persatuan politik dan keadilan ini belum ada
karena ketidakpedulian pemimpin. Segenap keburukan yang menimpa kaum muslimin
adalah akibat dari kebodohan dan perpecahan pemimpin muslim yang menyandang
gelar tinggi seperti pangeran dan sultan, yang hidup bergelimang dengan
kemewahan, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintah asing yang bukan
muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin
seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi, tidak menegakkan
keadilan, tidak merujuk kepada kitab yang tepat atau tidak mengikuti sunnah,
dan pemimpin seperti ini menjadi penyebab kerusakan akhlak ummat
(Rahnema,1998:60-61).
Menurut
Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh
ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah
dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam
perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia
memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus
disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama (Black, 2006:
550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi.
Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam,
seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan. Peranan penguasa ini b erbeda
dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan
benar dan adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan
keadilan dan keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan.
Penguasa berhak untuk ditaati selama dia
berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada
ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak
mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut
pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus
diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya.
Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah
teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar
pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap atau tidaknya orang untuk
menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam
meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip berdebat,
tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan
kepentingan publik. Jangan berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan
pada model asing. Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang,
tetapi tidak cocok bagi sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang
membuat peraturan dan hukum, janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka
harus memikirkan kondisi masyarakat dan watak khasnya. (Rahnema, 1998: 61-62).
5.
Pendidikan
Ide-ide
pembaharuan adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad Abduh
dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Pemikiran statis, taqlid, bid’ah, dan khurafat menjadi ciri dunia
Islam pada saat itu. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan
telah merambah ke berbagi bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan
dalam bidang-bidang kehidupan itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi
antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan yang lain, terutama
bidang akidah terlihat sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain
(Lubis, 1993: 152-153). Program pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah;
memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi
utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah
modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah
yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah misionaris yang didirikan bangsa asing
(al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa dipaksa untuk mempelajari kristen,
sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama
sekali (Rahnema, 1998: 97). Sementara sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan
kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada
sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat)
sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan
intelektual sama sekali, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek
jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa yang lain. Antara tipe sekolah modern
yang dibangun oleh pemerintah dan misionaris, dengan tipe sekolah agama
di mana Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama
sekali antara yang satu dengan yang lain (Lubis, 1993: 153-154).
Dualisme
pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial dengan dua
spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi muda
dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah agama
menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada
sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan
moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua
hanya akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus
kehidupan dan pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di
sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam
sekolah-sekolah agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari
golongan ulama akan dapat diperkecil (Nasution, 1996: 67).
Tujuan
pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang
luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif).
Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan
antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa
mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang
bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan
terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat
terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh
menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur
jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi
juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan
jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan
Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam
kebudayaan (Lubis, 1993: 156).
Dalam
metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat
itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian
yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan
dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di
Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan
pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan
pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para
pendidik agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya
hanya akan merusak daya nalar (Lubis, 1993: 159-160).
6.
Peranan Wanita
Untuk
kepentingan pembaharuan sosial, Muhammad Abduh menyerukan supaya syari’at
direvisi agar lebih sesuai dengan tuntutan dunia modern. Pembaharuan yang
berkenaan dengan peranan dan kedudukan wanita perlu dilakukan. Di dalam Islam
terdapat ajaran tentang kesetaraan gender. Pria dan wanita punya hak dan
kewajiban yang sama, mereka juga memiliki nalar dan perasaan yang sama. Antara
pria dan wanita terdapat hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya, memiliki
tanggung jawab dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sama-sama punya
kewajiban dan tanggung jawab iman dan Islam, dan sama-sama diseru untuk
menuntut ilmu (Rahnema, 1998: 63-64). Terkait dengan masalah pendidikan, sebagaimana
kesejajaran wanita dan pria dalam hal keampunan dan pahala dari Allah atas
perbuatan yang sama, maka wanita juga berhak mendapatkan pendidikan, seperti
hak yang didapatkan lelaki. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan, dan
yang demikian ini hanya mungkin dengan memberikan mereka pendidikan (Lubis,
1993: 160).
Mengenai
pengelolaan keluarga, pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat dan
pria bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya. Menurut ketentuan
hukum, suami bertanggung jawab melindungi dan menafkahi isterinya, dan isteri
mentaati suami. Hal ini bukan berarti bahwa wanita dapat dipaksa, wanita dan
pria punya fungsi komplementer. Wanita untuk pria dan pria untuk wanita,
seperti halnya organ tubuh, pria adalah kepalanya dan wanita adalah badannya.
Muhammad Abduh berpendapat, jika wanita mempunyai kualitas memimpin dan
kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. Muhammad
Abduh juga termasuk pendukung monogami, menurutnya praktik poligami
yang ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena
itu poligami harus dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat adil,
namun hal ini mustahil bagi manusia lainnya. Kendati syari’at membolehkan beristeri empat, jika memang
mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis akhirnya, mustahil manusia
bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku
sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristeri lebih dari satu.
Sementara itu, dia juga berpendapat bahwa keputusan cerai harus dilepaskan dari
otoritas suami, dan menempatkannya di bawah yurisdiksi dan kepakaran qadhi.
Dia bahkan merumuskan hukum yang memberikan kepada wanita hak untuk minta cerai
karena kondisi tertentu, seperti suami tak bertanggung jawab terhadap isteri,
perlakuan kasar atau kata-kata yang tak pantas, atau jika terus menerus
bertikai yang tidak mungkin ada penyelesaiannya (Rahnema, 1998: 64-66).
C.
Telaah Kritis Tentang Pembaharuan dan Pemikiran Muhamma Abduh
Ada beberapa hal yang perlu dicermati
dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran
Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi
secara kritis itu antara lain;
a.
Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh menonjolkan
akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak berlebihan. Hal
demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia menemukan
pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang
harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak
diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak
mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
b.
Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan
keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin,
Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup
pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spiritual)
untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya
pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual
tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh
melupakan satu lagi aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan)
yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan, sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang
diajukannya.
c.
Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam, Muhammad Abduh
sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya terhadap poligami
terkesan berlebihan. Ia beranggapan
bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan
masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga
ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang
menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu
dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam
pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu
Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga
tidak mansukh oleh ayat yang lain.
Dengan demikian, keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan
mutlak sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan
kemampuan manusia.
d.
Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat ulama fiqih
pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari otoritas suami dan
menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim). Agaknya,
pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh realitas sosial
pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang
diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang kehidupannya yang
memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap ijtihad-nya
dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan golongan anti Islam yang menuduh
Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh berusaha menjawab tuduhan itu dengan
menunjukkan keadilan Islam, namun perlu diingat bahwa ketetapan Allah tidak
dapat dibatalkan dengan ijtihad, dan ke-Maha AdilanNya tidak akan
berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
e.
Harun Nasution menyatakan bahwa poligami dalam Islam tidak diwajibkan
dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan. Manusia tidak akan memperoleh
kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat sekali mempunyai anak terpaksa
harus menceraikan isteri yang dicintai dan mencintainya agar dapat kawin dengan
perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya
tidak terpuaskan oleh satu orang isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk
kawin lagi hingga mencari kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh
kebaikan dan kebahagiaan. Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan,
dalam masyarakat yang jumlah perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya,
kalau poligami diharamkan (dilarang) (Nasution, 1998: 435). Untuk pembuktian lebih jauh dalam hal ini,
diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli hukum (faqih)
dan ahli ilmu kemasyarakatan.
BAB III
PENUTUPAN
A.
KESIMPULAN.
Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh semangat memerangi paham jumud yang mewabah dalam
lingkngan kehidupan ummat Islam pada waktu itu, dan semangat untuk melawan
hegemoni Barat yang dianggapnya mengancam eksistensi Islam di seluruh dunia.
Menurutnya kedua hal itulah yang menjadi penyebab kemunduran ummat Islam, dan
jalan bagi kebangkitan Islam adalah melawan kejumudan, meninggalkan taklid yang
membabi buta, dan melawan kekuasaan Barat dengan mendasarkan pada ajaran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya. Rasionalitas (penonjolan
akal), menjadi ciri utama dalam karya-karyanya, baik dalam penafsiran Al-Qur’an
maupun ijtihad-nya dalam berbagai lapangan kehidupan. Dia berpendapat
bahwa ajaran agama (Islam) hanya dapat dipahami melalui pembuktian akal
(logika), dan kalaupun ada yang sulit dipahami dengan akal tetapi tidak
bertentangan dengan akal.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1996. Risalat Al-Tauhid.
Diterjemahkan oleh Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid. Jakarta:
Bulan Bintang.
Black, Anthony. 2006. The History of Islamic Political
Though from The Prophet to The Present. Diterjemahkan oleh Abdullah Ali dan
Mariana Ariestyawati dengan judul Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi
hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Fakhry, Majid. 1987. History of Islamic Philosophy.
Diterjemahkan oleh R. Mulyadhi Kartanegara dengan judul Sejarah Filsafat
Islam. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad
Abduh. Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 1994.
Kazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah,
Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional, Gagasan dan
Pemikiran. Bandung: Mizan.
Rahnema, Ali. 1998. Pioneer of Islamic Revival.
Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Para Perintis Zaman Baru Islam.
Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2006. Rasionalitas Al-Quran, Studi
Kritis atas Tafsir Al-Manar. Tangerang: Lentera Hati.
Sjadzali,
Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar