BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadist
adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini
adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu
hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa
prakodifikasi. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits
kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa
membawa misi islamRahmatan lil’alamin.
Sejarah penulisan hadist
sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun
non muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas hadist Nabi
lantaran mereka berargumen bahwa hadist Nabi ditulis dan dibukukan dua abad
sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu
sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta
makna hadist yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi
rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa
diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah
penulisan dan pembukuan dengan benar.Sementara di sisi yang lain ada
sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadist Nabi tanpa
mempedulikan kesahihan dan ketidak sahihannya.Pada makalah ini penulis mencoba
berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang
penulisan dan pembukuan hadist Nabi sejak zaman Nabi, Para Sahabat dan Tabi’in
serta mulai abad ke 2 H sampai dengan sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGKONDIFIKASIAN HADIST PADA MASA
RASULULLAH, SAHABAT DAN PARA TABI’IN
- Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadits pada masa Rasul
SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya
akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits.
Rasul membina umatnya selama 23
tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus
diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian
para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih memahami
kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan
beberapa hal yang berkaitan:
a.1. Cara Rasulullah
menyampaikan hadist
Rasulullah dan para sahabat hidup
bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada
Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim.
Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah (suri
tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para
sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh
patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota
dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll.
Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari
jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat
kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak
bisa hadir (ikhadz).
a.2. Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat dalam menerima
hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang
dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan
oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah
pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan).
Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila
masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau
melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam
keadaan puasa.
Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan
sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui
tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila
hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.
a.3. Larangan menulis
hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum
sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ;
1.
para sahabat mengandalkan
kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih
kuarang.
2.
karena adanya larangan
menulis hadis nabi.
Abu
sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
لا تكتبوا عني شيٌا الا القران ومن كتب شيُا
فليمحه
Janganlah menulis
sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah
ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan
tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan
al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi
orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi
dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa,
maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
a.4. Aktifitas menulis
hadist
Bahwasanya sebagian sahabat telah
menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi
Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis
hadist menjelang akhir kehidupan Rosulullah.
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW
belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang
menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw.
penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang
larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
لاتكتبو اعنّى شيئا غير
القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain
Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an
hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang
melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist
yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. Bersabda
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku
didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya
bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
Ø Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam
untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah
itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal
Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang
membolehkannya.
Ø Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang
perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis
menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan
dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
Ø Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat
hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada
orang yang tidak kuat hafalannya.
- Hadist Pada Masa
Sahabat Dan Tabi’in
1. Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan
hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal
dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn
Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H.
sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
a. Sahabat dan Periwayatan Hadist
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya
kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan
tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan
sunnahku ” (H.R Malik).
Perlu
diketahui oleh kita, walaupun ini bukan pembahasan dalam makalah ini, tapi
untuk sekedar informasi untuk bahwa ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan
hadist dari Rasul saw
·
Abu Bakar
Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti
‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan hadist dari Nabi
Saw. sejumlah lima ratus hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa
kali…, setelah itu ia membakarnya.
· Umar bin khatab
Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis
hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka
menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun,
rupanya Allah belum menghendaki. Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis
sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka
memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah
sesungguhnya aku tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain
selamanaya.
Masih banyak sahabat-sahabat lain yang bersikap penuh
kehati-hatian, diantaranya Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abu Thalib,
abu Musa dll, penulis tidak akan menjelaskan itu semua dalam makalah yang
singat ini.
2. Hadits pada masa tabi’in
Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak
mengetahui hadist Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping
itu mereka mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan
sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para
tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan.
2
PENGKONDIFIKASIAN
HADIST DARI ABAD 2 H SAMPAI DENGAN SEKARANG
A.
Abad 2 H (Penulisan dan Pembukuan Hadist secara Resmi)
Pada periode ini
Hadist-hadist Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun
Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti
Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya
untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi,hal ini didadasarkan pada
beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadist dan
wafatnya para ulama hadist. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah,
bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka
belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu,
khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan
pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan
dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami masa yang lebih
panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan
waktu relatif lebih pendek. Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadist
disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan
dan perkembangan hadist, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya
kitab-kitab hadist yang dapat disaksikan sekarang ini.
Pada masa
pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah
yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu
sendiri adalah hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadist-hadist
tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya
orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang
didasarkan pada hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di
kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan
sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam
itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan
yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.
Menurut Ajjaj
al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai oleh ayahnya
Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur
Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak
menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi
Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadist begitu cepat merambah ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi
agar menulis dan mengumpulkan hadist yang ada pada sahabat dan seterusnya
disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan
hadist-hadist Rasulullah, hadist yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang
telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari
dosa dan takwa.
Jika kita teliti kemampuan ilmiah
umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan
terhadap hadist-hadist Nabi, Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para
sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut
ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan
kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya
dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti
Nabi lakukan terhadap mereka.Kondisi seperti itu secara tidak langsung
mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari agama. Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama
hadist yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah
palsu. Karena mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan
para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz. Pendapat ini
tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana
ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai
ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu sendiri
bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu
merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya.
Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya
ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa
ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut
disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru
kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat,
tabi’in serta fatwa ulama.
B.
Abad ke 3 H (Pemurnian
dan Penyempurnaan Penulisan Hadist)
Menurut ahli
hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus
tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena hanya mengikuti pendapat
populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa
hadist sudah dibukukan pada masa yang lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa
hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan
adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan
al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di
samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in,
hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan
hadist berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan
al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama
hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist, terutama kemurnian
hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist
yang semakin marak. Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya,
tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai
dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang
dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh.
Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para
imam mujtahid di berbagai bidang fikih dan ilmu kalam.
Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu
yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh
para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri
maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas
mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka mendukung mazhabnya
dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadist
mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim
dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum
pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq
yang memusuhi Islam untuk menciptakan hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum
muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan situasi
tersebut.
Ulama Mu'tazilah tidak saja
mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap
ahli hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadist serta menuduh
ahli hadist bodoh dan dungu. Oleh sebab itu para ulama berupaya agar
pelestarian yang berbentuk hadist dapat terus dipertahankan dan diabadikan
tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadist yang telah masuk ataupun
penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan
serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan
kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadist yang jauh dari
pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan
perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan
kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian hadist yang
disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para
sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'),
serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini adalah:
1.
Kitab Shahih, kitab ini
hanya menghimpun hadis-hadist Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak
dimasukkan ke dalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim.
2.
Kitab Sunan, di dalam
kitab ini selain dijumpai hadist-hadist Shahih,juga dijumpai hadist
yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan
tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi
Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
3.
Kitab Musnad, di dalam
kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti
mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya
seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk
kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis
tersebut merupakan kebutuhan untuk menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber
atau murni dari Nabi SAW dengan sanad dan perawi yang dapat
dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist tersebut maka hadist tersebut dapat
dijadikan sumber hukum dan hujjah sekaligus.
C.
Abad 4 s/d 7 H (Pemeliharaan,
Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa
Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih
dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan
menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada
seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri
keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara
mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35
sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan
kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah
menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi
saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.
Pada masa setelah sahabat kegiatan
pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini
didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya
rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan
hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir
sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada
abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan
para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung
sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah
sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah
1.
Al-Shahih, oleh ibn
Khujaimah (313 H).
2.
Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
3.
Al-Musnad, oleh Abu Awanah
(316 H).
4.
Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
5.
Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.
Kitab-kitab di atas merupakan bahan
rujukan bagi para ulama hadist, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa
serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru
dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad danmatannya
yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam
kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab
hadist pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1. Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya
menyebutkan sebagian dari matanhadist tertentu kemudian menjelaskan
seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang
berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari
kitab-kitab lainnya.
2. Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya,
dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist
tersebut dengan sanadnya sendiri.
3. Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist
yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu
syarat dari keduanya.
4. Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang
termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
a)
Yang menghimpun hadist-hadist shahih
Bukhari dan Muslim.
b)
Yang menghimpun hadist-hadist dari
al-Kutub al-Sittah.
c)
Yang Menghimpun
hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.
D. Abad 7 H s/d sekarang ( Pensyarahan, penghimpunan,
pentakhiran dan pembahasan Hadist)
1.
Kegiatan periwayatan hadist
Berawal dari penaklukan yang
dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian
dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa
mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan
membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah
Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang
akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu
lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah
masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H,
Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia
Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan
selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah
menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah),
maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H,
Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan
kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara
bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M
sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa
Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru
dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan hadist pada periode
ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah. Sedikit
sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara
hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di
antaranya:
v
Al-'Iraqi (w.
806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400
majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist.
v
Ibn Hajar
al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada
tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada
1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
v
Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia
merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis
dan menulis sejumlah kitab.
Pada masa ini, para ulama hadist pada
umumnya mempelajari kitab-kitab hadist yang sudah ada dan selanjutnya
mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya
seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain
sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadist pada saat sekarang,
selain mengkaji Matan (isi) hadist tersebut dapat dijadikan
sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa
hadist tersebut shahih atau tidakshahih. Akan tetapi
kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan
sebab musabab hadist tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari
perjalanan menyelamatkan hadist dari orang-orang yang ingin
menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang
membicarakan hal ihwal para rawi hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan
tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka
menerima hadist dari guru-guru mereka.
2. Bentuk penyusunan kitab hadist
Pada periode ini, umumnya para ulama
hadist mempelajari kitab-kitab hadist yang telah ada, kemudian mengembangkan
dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a. Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan
penjelasan kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dengan
dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya. Di
antara contohnya adalah:
1. Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu
syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2. Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan
kitab Shahih Muslim.
3. ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi,
syarah sunan Abu Dawud.
b. Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan
dari suatu kitab hadist, sepertiMukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad
fu’ad abd al-Baqi.
c. Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun
hadist-hadist dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu
lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh
al-Bushiri, yang memuat hadist-hadist riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat
dalam al-Kutub al-Sittah.
d. Kitab petunjuk (kode indeks) hadist. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk
praktis yang mempermudah mencari matan hadist pada kitab-kitab
tertentu. Contohnya,Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e. Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat
pengambilan hadist-hadist yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan
kualitasnya. Contohnya adalah,Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh
Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij hadist-hadist yang terdapat di
dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun
hadist-hadist dari berbagai kitab hadist tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa
al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadist-hadist
Bukhari dan Muslim
g. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum.
Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar
al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy.
Dengan adanya karya-karya besar para
ahli hadist tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam
mempelajari serta mentelusuri hadist-hadist yang ada sekarang, sehingga dapat
mengetahui kualitas hadist-hadist tersebut, dan menghindarkan diri dari
pengamalan hadist-hadist yang daif. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada
abad ke II H
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengumpulan hadist secara resmi telah dimulai sejak Khalifah
Umar ibn Abdul Aziz, yaitu awal abad ke 2, hal ini dilakukan dalam rangka
melestarikan hadist agar hadist tersebut tidak hilang bersama penghafal hadist,
di samping itu merupakan tuntutan kondisi umat Islam semakin banyak dan
wilayahnya semakin luas, sehingga diperlukan suatu rujukan hukum berupa hadist
setelah al-Qur’an
Sesudah itu, penulisan dan pembukuan hadist melewati beberapa proses
yang semuanya bertujuan mencapai kesempurnaan dan penjagaan atas keaslian
hadist-hadist tersebut.
Dalam pemilahan hadist yang shahih dan yang palsu, kiranya kita
harus melihat sanaddan matannya, dan yang terlebih lagi
hadist tersebut tidak mempunyai pertentangan dan tidak menjadi kepentingan
politik golongan tertentu pada masa silam sehingga dilestarikannya dengan
hadist pemalsuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar