Selasa, 26 November 2013

sejarah pengkondifikasian hadist



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islamRahmatan lil’alamin.
Sejarah penulisan hadist sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas hadist Nabi lantaran mereka berargumen bahwa hadist Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna hadist yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan  dengan benar.Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadist Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidak sahihannya.Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan hadist Nabi sejak zaman Nabi, Para Sahabat dan Tabi’in serta mulai abad ke 2 H sampai dengan sekarang.













BAB II
PEMBAHASAN

1.        PENGKONDIFIKASIAN HADIST PADA MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN PARA TABI’IN
  1. Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:

a.1.  Cara Rasulullah menyampaikan hadist
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz).
a.2. Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits  bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.
Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.

a.3.  Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ;
1.        para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang.
2.        karena adanya larangan menulis hadis nabi.

      Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
لا تكتبوا عني شيٌا الا القران ومن كتب شيُا فليمحه

Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )

      Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.

a.4.  Aktifitas menulis hadist
Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rosulullah.
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:


 لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.

” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
            
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. Bersabda


اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
            
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
Ø   Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
Ø   Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
Ø   Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.
  1.  Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
    1. Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

a.      Sahabat dan Periwayatan Hadist
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:

عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R Malik).
            Perlu diketahui oleh kita, walaupun ini bukan pembahasan dalam makalah ini, tapi untuk sekedar informasi untuk bahwa ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw
·           Abu Bakar
Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan  hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali…, setelah itu ia membakarnya.
·  Umar bin khatab
Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki. Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.
Masih banyak sahabat-sahabat lain yang bersikap penuh kehati-hatian, diantaranya  Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abu Thalib, abu Musa dll, penulis tidak akan menjelaskan itu semua dalam makalah yang singat ini.
2. Hadits pada masa tabi’in
Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak mengetahui hadist Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping itu mereka mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan.
2          PENGKONDIFIKASIAN HADIST DARI ABAD 2 H SAMPAI DENGAN SEKARANG
A.    Abad 2 H (Penulisan dan Pembukuan Hadist secara Resmi)
Pada periode ini Hadist-hadist Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi,hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadist. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek. Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadist disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadist, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadist yang dapat disaksikan sekarang ini.
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadist-hadist tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadist begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadist yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah, hadist yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadist-hadist Nabi, Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka.Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari agama. Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz. Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama.
B.     Abad ke 3 H (Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadist)
Menurut ahli hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa hadist sudah dibukukan pada masa yang lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadist berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist, terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist yang semakin marak. Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadist mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.                   
Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadist serta menuduh ahli hadist bodoh dan dungu. Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadist dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadist yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadist yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian hadist yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini adalah:
1.          Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadist Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
2.         Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadist-hadist Shahih,juga dijumpai hadist yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
3.         Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis tersebut merupakan kebutuhan untuk menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber atau murni dari Nabi SAW dengan sanad dan perawi yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist tersebut maka hadist tersebut dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah sekaligus.

C.    Abad 4 s/d 7 H (Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah
1.     Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
2.      Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
3.     Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
4.     Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
5.    Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.

Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad danmatannya yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1.       Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matanhadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
2.      Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri.
3.      Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
4.      Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
a)         Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
b)         Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
c)         Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.

D.    Abad 7 H  s/d sekarang ( Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan Hadist)
1.          Kegiatan periwayatan hadist
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah. Sedikit sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di antaranya:                                              
v  Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist.
v  Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
v  Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.
Pada masa ini, para ulama hadist pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadist yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadist pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadist tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa hadist tersebut shahih atau tidakshahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadist tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadist dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadist dari guru-guru mereka.
                                                                                                                                     
2. Bentuk penyusunan kitab hadist
Pada periode ini, umumnya para ulama hadist mempelajari kitab-kitab hadist yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a.    Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya. Di antara contohnya adalah:
1.     Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2.    Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3.    Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
b.    Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadist, sepertiMukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
c.    Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadist-hadist riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
d.   Kitab petunjuk (kode indeks) hadist. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan hadist pada kitab-kitab tertentu. Contohnya,Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e.    Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadist-hadist yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah,Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij hadist-hadist yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f.     Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari berbagai kitab hadist tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadist-hadist Bukhari dan Muslim
g.    Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

Dengan adanya karya-karya besar para ahli hadist tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri hadist-hadist yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas hadist-hadist tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan hadist-hadist yang daif. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad ke II H
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.










BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Pengumpulan hadist secara resmi telah dimulai sejak Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yaitu awal abad ke 2, hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan hadist agar hadist tersebut tidak hilang bersama penghafal hadist, di samping itu merupakan tuntutan kondisi umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas, sehingga diperlukan suatu rujukan hukum berupa hadist setelah al-Qur’an
Sesudah itu, penulisan dan pembukuan hadist melewati beberapa proses yang semuanya bertujuan mencapai kesempurnaan dan penjagaan atas keaslian hadist-hadist tersebut.
Dalam pemilahan hadist yang shahih dan yang palsu, kiranya kita harus melihat sanaddan matannya, dan yang terlebih lagi hadist tersebut tidak mempunyai pertentangan dan tidak menjadi kepentingan politik golongan tertentu pada masa silam sehingga dilestarikannya dengan hadist pemalsuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar